Sunday 31 May 2009

Masuk Bui Karena Menulis Email

Tulisan berikut adalah saduran dari http://blog.tempointeraktif.com/blog/masuk-bui-karena-menulis-email/ pada tanggal 30/05/2009


MAT Bloger mendadak datang dengan paras memerah seperti kerbau disunat. Matanya melotot. Mulutnya berbusa-busa. Tak henti-hentinya dia mengumpat dan memberondongkan sumpah serapah.

“Asem, semprul, sontoloyo. Rumah sakit macam apa itu? Bukannya menolong orang sakit, malah mengirimkan pasien ke penjara,” begitu Mat Bloger melontarkan makian.

Saya kaget. Kenapa Mat Bloger mendadak berang tanpa ada angin dan hujan. Sambil meletakkan koran yang sedang saya baca, saya pun menyapa dia. “Waduh, ada apa gerangan, Mat? Kenapa sampean tiba-tiba marah-marah begini? Kalah taruhan?”


“Bukan, Mas,” jawab Mat Bloger. “Saya marah karena ada ibu rumah tangga yang ditahan gara-gara menulis e-mail.”

“Kok bisa, Mat? Apa masalahnya?”

Mat Bloger lalu menuturkan kisah tentang Prita Mulyasari, yang sejak 13 Mei lalu dititipkan Kejaksaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang. Ia menjadi tahanan dalam kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Internasional Omni, Alam Sutera, Serpong, Tangerang Selatan.

“Kenapa dia dianggap mencemarkan nama baik, Mat?”

Mat Bloger mengatakan kasus ini bermula dari surat elektronik Prita pada 7 Agustus 2008. Surat itu berisi keluhannya ketika ia dirawat di Omni. Surat yang semula hanya ditujukan ke sebuah mailing list (milis) tersebut ternyata beredar ke pelbagai milis dan forum di Internet, dan diketahui oleh manajemen Rumah Sakit Omni.

PT Sarana Mediatama Internasional, pengelola rumah sakit itu, rupanya menganggap nama baiknya tercemar oleh surat tersebut. Mereka lalu menggugat Prita, baik secara perdata maupun pidana. Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan Prita kalah dalam gugatan perdata. Sedangkan sidang pidananya akan berlangsung pekan depan.

“Terus terang saya merasa prihatin dan bersimpati terhadap Prita, Mas,” kata Mat Bloger. “Saya merasa dia tak layak dihukum seberat itu, bahkan sampai masuk penjara. Ini jelas teror bagi kita, konsumen, yang sering kali diperlakukan tak layak dan tak adil, tapi ketika mengeluh, malah dituduh mencemarkan nama baik.”

“Setuju, Mat. Ini teror. Kita harus melawan. Tapi mungkin juga ada hikmahnya buat kita. Kasus yang dialami Prita bisa menimpa siapa saja, saya atau sampean, juga blogger lain yang kerap menulis keluhan terhadap sebuah produk atau layanan di blognya.

Supaya kita terhindar dari jeratan hukum atau setidaknya mengurangi akibat yang lebih fatal, sampean perlu tahu caranya. Kiat ini penting karena sebagai blogger, sampean tentu tak bisa menghindar dari tuntutan hukum atas segala aktivitas yang sampean publikasikan.

Pertama, sampean tak perlu mencari perhatian dengan membuat judul tulisan yang terlampau provokatif semata-mata demi sensasi dan lonjakan traffic. Cara seperti ini bisa-bisa malah menjadi bumerang untuk kita.

Fokuskan tulisan pada masalah yang sampean alami atau keluhkan, dan bukan terhadap orang/lembaganya. Kritiklah kinerja atau layanan mereka, bukan menjelekkan namanya.

Meski mengritik, sebaiknya sampean juga memberikan solusi. Sampaikan kritik dengan bahasa yang santun agar orang yang dikritik tak merasa terhina dan marah. Lalu jangan segan meminta maaf. Jika kritik atau keluhan sampean ternyata salah, sebaiknya segera meminta maaf.

Terakhir, kalau sampean hendak mengkritik, sebaiknya sampean juga harus siap menerima masukan atau keberatan pembaca. Dengan cara itu, kita mungkin akan terhindar dari komplikasi hukum yang tak perlu.”

Sambungannya... (klik disini!)

Friday 29 May 2009

UU ITE Kembali Memakan Korban

Prita Mulyasari ditahan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang lantaran mengeluhkan pelayanan RS. Omni Internasional di sebuah milis. Ibu rumah tangga dua anak ini dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Prita mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh RS Omni Internasional dan dokter yang merawatnya, yaitu dr. Hengky Gosal, SpPD, dan dr Grace Herza Yarlen Nela. Permintaan rekam medis dan keluhan yang tidak ditanggapi dengan baik tersebut telah 'memaksa' Prita menuliskan pengalamannya melalui surat elektronik di Milis. (Sumber: PrimaAir)

Koordinator Divisi Advokasi HAM pada Sekretariat Nasional PBHI, Anggara menilai keluhan Prita dilindungi oleh undang-undang.

"PBHI berpendapat bahwa keluhan tersebut jelas adalah hak konsumen yang dijamin oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dan juga Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis tertanggal 12 Maret 2008 telah menjelaskan bahwa Pasien/Konsumen berhak untuk meminta rekam medis," kata Anggara.

PN Tangerang menyatakan Prita Mulyasari bersalah secara perdata. Saat ini Prita sedang menunggu proses penuntutan pidana di Pengadilan Negeri Tangerang yang akan digelar minggu depan dan dipimpin oleh Wakil Ketua PN Tangerang


PBHI menyesalkan sikap Ketua PN Tangerang yang tidak mau menjelaskan isi putusan gugatan perdata yang dimenangkan oleh RS Omni Internasional kepada masyarakat.

PBHI juga meminta penangguhan penahanan Prita demi alasan kemanusiaan. "Lebih luas lagi, mendesak Komnas HAM untuk memantau perkembangan kasus yang menjerat pengguna internet dalam proses pidana pencemaran nama baik," katanya.

Sebelumnya, Iwan Pilliang, seorang wartawan, juga pernah dijerat UU ITE, karena diduga mencemarkan nama baik seorang anggota DPR melalui tulisannya yang disebarkan di internet.

Kasus ini menyeruak beberapa minggu setelah Mahakamah Konstitusi menolak uji materi UU ITE.


::: Berikut ini email yang ditulis oleh sdri. Prita pada sebuah Milis :::

From: prita mulyasari [mailto:prita.mulyasari@...]
Sent: Friday, August 15, 2008 3:51 PM
Subject: Penipuan OMNI Iternational Hospital Alam Sutera Tangerang

Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya, terutama
anak-anak, lansia dan bayi.
Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International
karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba
pasien, penjualan obat dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS International seperti ini tapi saya mengalami
kejadian ini di RS Omni International.

Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB, saya dengan kondisi panas tinggi
dan pusing kepala, datang ke RS. OMNI Intl dengan percaya bahwa RS tersebut
berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan
manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya
27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000, saya diinformasikan dan
ditangani oleh dr. Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. Dr. Indah
melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya
dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000. Dr. Indah menanyakan dokter
specialist mana yang akan saya gunakan tapi saya meminta referensi darinya
karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr. Indah adalah dr.
Henky. Dr. Henky memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan
dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau ijin
pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr.Henky
visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam bukan 27.000
tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?), saya kaget tapi dr. Henky terus
memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan
yang saya tidak tahu dan tanpa ijin pasien atau keluarga pasien. Saya tanya
kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban
semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat kuatir karena dirumah saya
memiliki 2 anak yang masih batita jadi saya lebih memilih berpikir positif
tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya
ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik
tidak ada keterangan apapun dari suster perawat, dan setiap saya meminta
keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, lebih terkesan suster hanya
menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu box lemari pasien
penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak, saya minta dihentikan infus dan suntikan dan
minta ketemu dengan dr. Henky namun dokter tidak datang sampai saya dipindahkan
ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan
datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa, setelah dicek
dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr. Henky saja.

Esoknya dr. Henky datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk
memberikan obat berupa suntikan lagi, saya tanyakan ke dokter tersebut saya
sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti
bukan kena demam berdarah tapi dr. Henky tetap menjelaskan bahwa demam berdarah
tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali
diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak
napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya
berkata menunggu dr. Henky saja. Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus
padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya.

Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan
suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr. Henky untuk ketemu dengan kami namun
janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya
menuntut penjelasan dr. Henky mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang
27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup
saya belum pernah terjadi.

Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri saya.

Dr, Henky tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan, dokter tersebut malah
mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan
menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan
meminta dr. Henky bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama
yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. Dr. Henky menyalahkan bagian lab dan
tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai
membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat namun saya tetap tidak mau
dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi saya membutuhkan data
medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis
yang fiktif.

Dalam catatan medis, diberikan keterangan bahwa BAB saya lancar padahal itu
kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow upnya
samasekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang
181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan
bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000,
kepala lab saat itu adalah dr. Mimi dan setelah saya complaint dan marah-marah,
dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di
Manajemen Omni maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang
memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan complaint tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Ogi
(customer service coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima
tersebut hanya ditulis saran bukan complaint, saya benar-benar dipermainkan oleh
Manajemen Omni dengan staff Ogi yang tidak ada service nya sama sekali ke
customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima
pengajuan complaint tertulis.

Dalam kondisi sakit, saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen, atas nama Ogi
(customer service coordinator) dan dr. Grace (customer service manager) dan
diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan
saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari
lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000 makanya saya
diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih
bisa rawat jalan.

Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya
ini tidak profesional samasekali. Tidak menanggapi complaint dengan baik, dia
mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr. Mimi
informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen dan dr.
Henky namun tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas
(Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan
dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular, menurut analisa ini adalah
sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah
membengkak, kalau kena orang dewasa yang ke laki-laki bisa terjadi impoten dan
perempuan ke pankreas dan kista. Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah
dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah
dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami
sesak napas.

Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya
tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagiih surat hasil lab 27.000 tersebut
namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan
waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu
kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni
memberikan surat tersebut. Saya telepon dr. Grace sebagai penanggung jawab
compaint dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya
namun sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang
kerumah saya. Kembali saya telepon dr. Grace dan dia mengatakan bahwa sudah
dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah, ini benar-benar kebohongan RS
yang keterlaluan sekali, dirumah saya tidak ada nama Rukiah, saya minta
disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan
waktu yang lama. Logikanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat
tertujunya kemana kan ? makanya saya sebut
Manajemen Omni PEMBOHONG BESAR semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang
mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr. Grace dan Ogi, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan
customer, tidak sesuai dengan standard International yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr. Grace, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan
ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas
dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami, pihak manajemen hanya
menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai
kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan
diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari
sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? karena saya ingin tahu
bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni
mendapatkan pasien rawat inap. Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan
janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah FIKTIF dan yang
sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak
napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani
dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan, mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan
asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal
mungkin tapi RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Ogi menyarankan saya bertemiu dengan direktur operasional RS Omni (dr. Bina)
namun saya dan suami saya terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka
dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput
atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan
apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup
untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing,
benar…. tapi apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dpercaya
untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan, semoga Allah
memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali
bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga
sakit dan membutuhkan medis, mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami
di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau
dokter atau Manajemen RS Omni, tolong sampaikan ke dr. Grace, dr. Henky, dr.
Mimi dan Ogi bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi
perusahaan Anda.

Saya informasikan juga dr. Henky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan
RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

salam,
Prita Mulyasari



::: Semoga ini bukan pembungkaman atas buruknya kualitas pelayanan publik :::

Sambungannya... (klik disini!)