Monday 15 June 2009

Iran, Intervensi Barat dan Tak Lakunya Demokrasi

warnet
"Matilah Amerika, matilah Israel..!" teriakan itu yang kerap digaungkan para penggerak revolusi Iran pada 1979 lalu, namun kemarin, minggu 14 juni 2009 negeri para Mullah itu berteriak dengan teriakan yang berbeda "Matilah pelaku kudeta, matilah diktator..!". Sebuah antiklimaks dalam perjalanan 30 tahun terlihat jelas. Teriakan-teriakan itu datang dari para pendukung Muosavi yang berpendapat calon presiden incumbent Ahmadinejad mencuri suara mereka. Mousavi yang mantan perdana menteri diumumkan hanya mendapatkan suara sebanyak lebih dari 9 juta suara, atau sekitar 30% dari total suara yang masuk. Sedangkan rivalnya, Ahmadinejad meraih lebih dari 65% suara.

Poros reformis dan moderat yang mengusung Mousavi tidak dapat menerima kekalahan telak ini, mereka turun ke jalan, membakar ban-ban bekas dan meneriakan penolakan mereka. Kebulatan haluan politik Iran hari itu pecah sudah. Dibelahan benua lain, Hillary Clinton sang Menteri Luar Negeri Amerika berkata kecut "Kami berharap hasil pemilihan presiden mencerminkan kehendak murni rakyat Iran". Menteri yang lebih sering mengurusi negera orang lain ketimbang negaranya sendiri ini, menyinggung proses pemilihan yang menurutnya tidak sesuai kehendak rakyat Iran.


Adapun Deputi Menteri Luar Negeri Israel Danny Ayalon dan Wakil Perdana Menteri ISrael Silvan Shalom menegaskan bahwa kemenangan Ahmadinejad merupakan ancaman besar. Pemimpin spiritual Iran Ayatullah Ali Khamenei justru berpendapat lain, sabtu sore lalu dia justru mengucapkan selamat atas kemenangan Ahmadinejad dan mendesak agar kandidat yang kalah mendukung yang menang. Begitu pula dengan Hugo Chavez, Presiden Venezuela itu berpendapat bahwa kemenangan Ahmadinejad, yang tak tunduk terhadap tekanan Amerika merupakan wujud dari kejayaan bagi seluruh warga dunia sekaliagus membebaskan bangsa-bangsa dari tekanan arogansi global.

Barat dan sebagian pendukungnya di dalam tubuh rakyat Iran seolah-olah men-Tuhankan Demokrasi. Ahmadinejad menuding para diplomat asing dan agen-agennya yang menyusup ke Iran telah melakukan aksi propaganda demi menentang negara. Demokrasi kembali menjadi kemasan propaganda barat, belum lepas dari ingatan kita atas invasi yang dilakukan Amerika terhadap Irak, dengan dalih memusnahkan senjata pemusnah massal, Amerika dan sekutunya justru melakukan pemusnahan terhadap warga Irak yang anti barat. Belakangan terungkap, minyak adalah motif utama Amerika melakukan invasi ke Irak. Akankah Amerika juga memberlakukan langkah yang sama terhadap Iran?, demokrasi merupakan barang dagangan yang sering kali dijajakan Amerika ke negara-negara lain. Seolah-olah Amerika menyatakan bahwa tak ada ideologi lain bagi negara di dunia ini selain demokrasi. Padahal demokrasi yang dijajakan Amerika tak ubahnya bagai sebuah mainan bagi anak kecil yang menangis, setelah tangisnya berhenti maka dia membuang mainan itu. Yang muncul setelah demokrasi justru liberalisasi ekonomi dan neo-imperialisme. Pasca Invasi Amerika ke Irak dan tumbangnya Saddam Hussein, Amerika sukses menciptakan pemerintahan boneka dengan baju demokrasi dan juga menguasai ladang-ladang minyak Irak yang konon mengandung 20% cadangan minyak dunia. Perusahaan-perusahaan minyak Amerika berebut tender untuk mengoperasionalkan kembali ladang-ladang minyak tersebut, Amerika harus berpikir keras untuk mengembalikan biaya invasi-nya ke Irak. Negara boneka pun akhirnya terwujud. Sukses besar yang diraih Amerika di tanah Irak nyatanya tak membuat mereka berpuas diri. Dan tampaknya target berikutnya adalah Iran. Hal ini telah dimulai dengan tudingan yang digembor-gemborkan bahwa Iran memiliki senjata nuklir, motif yang sama dengan apa yang telah Amerika lakukan terhadap Irak.

Kapitalisme, liberalisme dan keserakahan yang tak berujung merupakan inti dari demokrasi yang digaungkan oleh Amerika, alih-alih menjadi polisi dunia justru malah menjadi perampok dunia. Runtuhnya Uni Soviet jelas membuat Amerika besar kepala, tak ada lagi poros yang mampu menandingi kedigdayaan Amerika. Berjalan tanpa lawan yang sepadan membuat Amerika bebas berbuat sesuka hati. Namun tidak demikian dengan Ahmadinejad, dia dengan lantang menolak upaya intervensi Amerika dan barat atas Iran, satu keterbedaan yang jarang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin di dunia.

1979, revolusi Islam di Iran memberikan harapan besar bagi pemeluk Islam yang bukan hanya warga Iran untuk dapat tampil dan memberikan contoh bahwa platform berbangsa dan bernegara bukan hanya demokrasi. Ayatullah Ali Khamenei sebagai pemimpin spiritual tertinggi memiliki kekuatan yang lebih atas warga Iran, apapun yang di katakannya adalah titah yang harus dilaksanakan. Ini tak ubahnya Gusdur didalam tubuh NU.

Ali Khamenei dan Ahmadinejad paham betul bahwa jika Presiden Iran berikutnya berhaluan moderat dan dipengaruhi barat dapat dipastikan masa depan Iran tak ubahnya Irak hari ini. Hanya akan menjadi alat dari kepentingan ekonomi Amerika dan para gundiknya. Semoga semua warga Iran dapat memahami apa yang ada dibenak Ali khamenei dan Ahmadinejad, serta tak melulu men-Tuhankan Demokrasi. Karena, seperti apa yang kerap kita lihat di negeri kita sendiri, demokrasi hanya berujung pada pembagian kursi.



>> No Offense Gan ..... just keep posting, di jamin gak repost. <<

Jadilah orang yang pertama berkomentar pada artikel “Iran, Intervensi Barat dan Tak Lakunya Demokrasi”

Bila artikel ini bermanfaat untuk anda, silahkan berikan komentar anda...