Saturday 17 October 2009

Pornografi di Ruang Sidang

Antasari KPKHeboh kasus pemaparan dakwaan secara vulgar dalam sidang Antasari Azhar pekan lalu harus menjadi pelajaran penting. Pelajaran tidak hanya bagi sistem dan mekanisme peradilan, tapi juga untuk media massa. Bagaimanapun, materi dakwaan yang sudah tergolong adegan seks secara eksplisit itu tak selayaknya ditunjukkan kepada publik.

Pemaparan adegan seks itu merupakan bagian dari dakwaan jaksa terhadap Antasari Azhar, bekas ketua KPK, yang dituduh membunuh Nasrudin Zulkarnaen. Menurut jaksa, sebelum pembunuhan, Rhani Juliani, istri Nasrudin, sempat dua kali datang ke kamar 808 Hotel Grand Mahakam, yang disewa Antasari.

Masih menurut jaksa, di kamar inilah, dalam dua kali pertemuan, Antasari membujuk Rhani melakukan hubungan badan. Jaksa secara jelas menggambarkan bagaimana Antasari merayu dan mendesak Rhani, hingga kemudian, pada pertemuan kedua, Rhani melayani Antasari meski tidak sampai berhubungan badan.

Ini memang sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Sesuai dengan Kitab Hukum Acara Pidana, hakim boleh menyatakan sidang terbuka bila tidak menyangkut kasus asusila atau bila terdakwanya bukan anak-anak. Artinya, hakim tidak melanggar aturan ketika membiarkan jaksa membacakan dakwaan yang berisi perincian adegan intim itu.

Tapi hakim tentu sudah membaca dakwaan jauh sebelum sidang berlangsung. Mestinya hakim, selaku pemegang kewenangan tertinggi di dalam sidang, bisa meminta agar, saat pembacaan bagian intim, televisi tidak menayangkan bagian ini. Bahwa kemudian ada TV yang menyiarkan rekaman lengkap, maka ini bukan lagi tanggung jawab hakim. Lagi pula dakwaan tentang bagian intim itu tidak secara langsung menyangkut materi pokok perkara, yaitu kasus pembunuhan.

Media pun, entah televisi atau online dan cetak, seharusnya tahu bahwa penyiaran pemaparan adegan seperti itu melanggar Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan kode etik wartawan. Ketentuan KPI dan kode etik jelas menyebutkan bahwa dalam menyampaikan beritanya, media harus memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan.

Pihak media tak bisa berdalih bahwa mereka tak tahu ada pemaparan adegan intim dalam dakwaan sehingga lolos karena siaran dilakukan secara langsung. Pembacaan bagian intim itu setidaknya berlangsung lebih dari lima menit, sehingga mestinya di menit awal pihak TV sudah memutuskan segera menghentikan penayangan.

Aturan sidang di pengadilan kita memang tergolong longgar dibanding di negara lain. Belum ada aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan ke luar ruang sidang dalam sebuah sidang terbuka. Padahal, dalam sistem pengadilan di negara-negara Barat, mereka sangat ketat. Di Amerika, misalnya, jangankan merekam dengan kamera, mengambil foto statis suasana sidang saja merupakan perbuatan terlarang.

Kita memang belum memiliki aturan seketat itu. Justru karena itulah, kearifan media diperlukan saat menyiarkan bagian-bagian sensitif persidangan, khususnya menyangkut pornografi dan sadisme.

Editorial Koran Tempo ; 17 Oktober 2009

One response to “Pornografi di Ruang Sidang”

Herman Syach said...

wah Gmn nasibnya Indonesia,,

Bila artikel ini bermanfaat untuk anda, silahkan berikan komentar anda...